Kamis, 10 Desember 2015

Anak Kota Bersahabat dengan Polusi Udara



Pernahkah kalian memandang gedung-gedung pencakar langit di ibu kota seperti melihat lukisan? Terlihat begitu jauh, seperti disapu kabut? 
Pernahkah kalian berlibur ke desa dan ketika pemikiran akan kembali ke kota besar begitu enggan karena bayangan jalanan berdebu macet dengan banyak kendaraan yang tidak kalah berdebu juga?

Orang kota besar, khususnya Jakarta tentu sering atau setidaknya sering mengalami fenomena seperti itu. Sejujurnya mereka sadar akan polusi udara yang menggerayangi setiap hari ketika berangkat atau pulang kerja. Itu pun untuk yang bekerja di perkantoran. Bagaimana dengan warga yang mencari nafkah di sepenjang jalan? Warteg, supir angkot, ojeg, kaki lima, toko-toko pinggiran jalan, yang terpapar debu di kesehariannya? Mereka tahu akan penyakit yang membayang saat umur lanjut nanti tapi kita hidup hari ini, makan hari ini, dari mana lagi kita dapat uang selain berteman dengan udara yang tidak begitu bersahabat.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menobatkan Jakarta Utara sebagai kota dengan tingkat polusi udara terburuk se-Indonesia pada 2014. Penelitian ini dilakukan terhadap 14 kota metropolitan di Tanah Air.

Wali Kota Jakarta Utara, Rustam Effendi, mengatakan sangat sedikit yang bisa dilakukan untuk mengembalikan kehijauan di tanah ini. Lahan hijau terbuka hampir seluruhnya dikuasai perseorangan atau swasta. Ketika pemerintah hendak membeli dan membuka lahan hijau untuk umum, mereka malah mematok harga selangit, bahkan jauh lebih tinggi dari pajaknya.

Belum lagi tanah di area Jakarta Utara kering dan tidak sesubur daerah Jakarta lain. Sulit untuk menumbuhkan tanaman atau pohon hingga tumbuh besar dan rimbun. Seringnya pohon akan mati karena kekeringan, kurangnya zat hara, atau polusi udara yang mengakibatkan kendala dalam proses fotosintesis. Ingat bahwa pohon atau tumbuhan menyerap karbondioksida, bukan karbon monoksida atau karbon sisa baracun lain yang keluar dari asap kendaraan.

Hilangnya atau kurangnya tumbuhan sebagai penyaring udara kotor di daerah DKI menyebabkan polutan udara bisa langsung terserap manusia. Sayangnya satu hal kecil yang dapat dilakukan warga sekitar hanya memakai masker. Itupun bagi orang yang sadar akan polusi udara dan debu yang kadang tidak terlalu kentara karena kuatnya sinar matahari. Tapi bagi sebagian orang lain, memakai masker seperti hal remeh tak guna. Alasan ditambah dengan makin panasnya udara Jakarta. Padahal ancaman kematian polusi udara tidak bisa dianggap remeh.

Penelitian menyebutkan bahwa polusi udara dapat mengubah volume otak seseorang. Kamis, 23 April 2015, di American Heart Association Journal Stroke, peneliti memeriksa 943 orang dewasa sehat yang berusia minimal 60 tahun dan tinggal di wilayah New England.

Dengan menggunakan MRI (magnetic resonance imaging), ditemukan bahwa peningkatan 2 mikrogram/meter kubik polusi fine particle (gas buang mobil) terkait dengan penurunan 0,32 volume otak. Penurunan sebanyak ini sama dengan penuaan otak normal selama setahun. Manusia dengan kondisi ini memiliki 46% risiko silent stroke.

Belum lagi studi lain yang menyatakan polusi udara dari bahan bakar padat (batu bara, biomassa), emisi lalu lintas, pembangkit daya, praktek pertanian menggunakan bahan kimia, dan lain-lain menjadikan kematian dini akibat polusi udara di ruang terbuka bisa dua kali lipat pada tahun 2050 dengan 6,6 juta kemtian premature pertahun.

Ilmuwan di Belanda mengaplikasikan penemuannya berupa paving block (bata beton) untuk jalan dan trotoar untuk menyerap polusi udara hingga 45%. Lapisan paving block yang telah disemprot titanium dioksida mampu menghilangkan polutan dan mengubahnya menjadi senyawa tidak berbahaya.


Sesungguhnya, kematian manusia memang banyak disebabkan oleh sikap tidak peduli dan  keegoisan manusia sendiri. Maukah kita diperbudak nafsu kita sendiri? Jawabannya akan kembali pada kesadaran diri masing-masing.

Oleh : Andiny A.

Referensi :

Tidak ada komentar: